Nasional

Mengenal dan Mengetahui Komitmen Indonesia Pada Restorasi Lahan Gambut


Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/rsmgsdaa/public_html/sinarpembaruan.com/wp-content/themes/jannah/framework/classes/class-tielabs-filters.php on line 328
Penulis: Suhendra Mulia, M.Si.

Sinarpembaruan.com-Jakarta, Gambut merupakan jenis lahan basah yang terbentuk dari timbunan material organik berupa sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan jasad hewan yang membusuk di dalam tanah. Indonesia (lindungihutan.com, 2022) merupakan salah satu negara yang memiliki lahan gambut yang luas. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 22,5 juta hektar. Persebaran lahan gambut di Indonesia berkisar di pulau Sumatera, Kalimantan, Papua serta sebagian kecil di Sulawesi.

Luas lahan gambut terbesar di Indonesia terletak di Papua dengan luas 6,3 juta ha. Disusul kemudian Kalimantan Tengah 2,7 juta ha, Riau 2,2 juta ha, Kalimantan Barat 1,8 juta ha dan Sumatera Selatan 1,7 juta ha. Selain itu, cakupan lahan gambut terbanyak disusul oleh Papua Barat 1,3 juta ha, Kalimantan Timur 0,9 juta ha serta Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha. Luas lahan gambut secara keseluruhan mencapai setengah dari luas lahan basah di dunia, dan menutupi 3% dari total luas permukaan bumi. Semua lahan gambut dapat dijumpai di berbagai belahan dunia.


Restorasi gambut yang merupakan komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, serta mengurangi emisi gas rumah kaca. Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora BRIN, mengungkapkan sebagian besar emisi negara berasal dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Hal tersebut termasuk pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan mangrove yang diperuntukkan bagi tambak udang dan ikan.

Najib berpendapat, “Indonesia adalah rumah bagi lebih dari sepertiga lahan gambut tropis dunia, setengahnya telah diubah melalui drainase, deforestasi, dan pembakaran terkait pertanian”. Indonesia telah berjanji untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektar lahan gambut terdegradasi pada 2016-2020 di bawah Badan Restorasi Gambut (BRG) dan 1,5 juta hektar lahan gambut terdegradasi pada 2020-2024 di bawah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Restorasi gambut merupakan persoalan yang kompleks, tidak hanya menyangkut pemulihan biofisik melalui pembasahan dan revegetasi, tetapi juga dimensi sosial karena banyak orang yang hidup dan menggantungkan mata pencahariannya di lahan gambut. “Mendahulukan manusia adalah bagian penting dari persamaan untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut tropis Indonesia yang luas”. Tanpa komitmen masyarakat di lahan gambut dan pemangku kepentingan lainnya, pemerintah, masyarakat sipil, LSM, akademisi, kami tidak dapat memulihkan lahan gambut secara berkelanjutan. BRIN telah melakukan beberapa penelitian restorasi gambut baik dari aspek sosial, hukum, hingga biologis.

Laely Nurhidayah, Peneliti BRIN berkata peluncuran program food estate di Kalimantan Tengah menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat sipil. “Ada ketakutan bahwa pemerintah akan mengulangi kesalahan yang sama pada kegagalan sebelumnya pembukaan lahan gambut untuk eks mega proyek padi yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan, peningkatan emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik penguasaan lahan dengan adat setempat masyarakat”.

Peluncuran program food estate di Kalimantan Tengah menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat sipil. “Ada ketakutan bahwa pemerintah akan mengulangi kesalahan yang sama pada kegagalan sebelumnya pembukaan lahan gambut untuk eks mega proyek padi yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan, peningkatan emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik penguasaan lahan dengan adat setempat masyarakat”.

Made Hesti Lestari Tata, Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, mengatakan restorasi sosio-ekologi membutuhkan hubungan pemangku kepentingan yang berarti. Diperlukan kerja sama yang sinergis dan harmonis antar pemangku kepentingan terkait. Meskipun banyak pemangku kepentingan telah mengambil bagian dalam upaya ini, namun hanya sedikit dari mereka yang menyadari peran potensial mereka yang dapat disumbangkan untuk tindakan tersebut. Kegagalan restorasi ekosistem terjadi di mana kurangnya inklusi sosial dan keterlibatan masyarakat.

Ada 3 (tiga) pendekatan restorasi di mana dalam restorasi lahan gambut di Indonesia bekerja menuju perbaikan karakteristik biofisik dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat pedesaan. “Paludikultur adalah salah satu dari lima program dalam program konservasi dan restorasi lahan gambut berbasis masyarakat”. Tujuan mempelajari peran pemangku kepentingan yang peduli dengan restorasi gambut dan memetakan potensi peran mereka dalam rangka untuk menyukseskan restorasi.

Pengertian gambut menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Permen LH No.7/2006 menjelaskan tanah gambut yaitu tanah hasil penumpukan bahan organik melalui produksi biomassa hutan hujan tropis.

Gambut (lindungihutan.com, 2022) mempunyai karakteristik yang unik dan memiliki fungsi yang beragam seperti pengatur tata air, pengendali banjir, sebagai habitat (tempat hidup) aneka ragam jenis makhluk hidup dan sebagai gudang penyimpan karbon dan berperan sebagai pengendali kestabilan iklim global. Ciri lahan gambut dapat dilihat dari adanya lapisan gambut dengan ketebalan lebih dari 40 cm dan mengandung bahan organik lebih dari 30% jika fraksi mineralnya mengandung lempung sebesar 60%, atau mengandung bahan organik lebih dari 20% jika fraksi mineralnya tidak mengandung lempung.

Sifat lahan gambut sangat berbeda dengan tanah mineral berkaitan dengan sifat kimia, fisika, dan biologi. Ciri lahan gambut dapat berubah akibat adanya tindakan manusia seperti pembukaan lahan, pembakaran lahan, pembuatan saluran drainase, dan penambangan.

Untuk itu sangat penting para pemangku kepentingan berperan dalam penataan, pemeliharaan, dan pengembangan lingkungan dengan memperhatikan budaya, adat, kondisi wilayah dan sebagainya. Hal ini akan memunculkan kebijakan yang ramah terhadap lingkungan maupun manusia itu sendiri.

Penulis: Suhendra Mulia, M.Si.

Tags
Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Close
Close